petani.id – (#SDMPetaniUnggul – Artikel – Jakarta, 10/07/2020). Presiden Joko Widodo meminta Menteri Pertahanan Prabowo Subianto untuk memperkuat ketahanan pangan, antara lain dengan melibatkan tentara serta pengembangan “lumbung pangan” (food estate) seluas 20.000 hektar di Kalimantan Tengah. Cita – cita membuat food estate skala besar (lumbung pangan nasional) bukan cerita baru. Soeharto pernah mencanangkan lahan padi sejuta hektar. Susilo Bambang Yudhoyono mencetak Merauke (Papua) menjadi lumbung pangan; kebijakan yang dilanjutkan oleh Joko Widodo juga. Kebijakan mengembangkan food estate sulit berhasil (seperti sudah ditunjukkan sejak zaman Soeharto).
Tapi, lebih dari segalanya, bukan strategi bagus untuk menopang ketahanan pangan secara berkelanjutan. Bahkan itu ide buruk. Ketimbang membangun lumbung pangan nasional, pemerintah semestinya mendorong pengenalan kembali lumbung di setiap desa. Artinya: alih – alih mendukung usaha skala besar, pemerintah semestinya punya prioritas mendukung masyarakat Petani kecil di pedesaan. Badan Pangan Dunia (FAO) mengakui peran besar Petani gurem. Sekitar 70% pangan dunia diproduksi oleh Petani keluarga (family farming).
Di Indonesia sendiri, 96% kebutuhan beras dipasok oleh Petani gurem. Lebih dari itu, pertanian masih merupakan sektor terbesar penyerap tenaga kerja di negeri ini: yakni 35% atau sekitar 40 juta orang pada 2013. Meski begitu, jumlah Petani memang turun terus, sekitar 1 juta Petani / tahun. Sumbangan sektor pertanian terhadap PDB juga terus merosot. Hanya sekitar 14% – 15% pada 2014. Padahal, sejumlah kajian menunjukkan bahwa pertumbuhan PDB pertanian paling efektif menghapus kemiskinan dibanding pertumbuhan sektor lain, seperti manufaktur dan jasa.
Membantu masyarakat Petani kecil adalah cara mencapai ketercukupan pangan sekaligus memperkokoh ekonomi rakyat (menyerap tenaga kerja dan memperkecil kemiskinan). Jika food estate cenderung menguntungkan usaha besar, pemberdayaan masyarakat Petani kecil punya dampak signifikan pada pengembangan ekonomi kerakyatan secara luas, khususnya di kala pandemi sekarang.
Pertanian skala besar juga cenderung monokultur, sementara pertanian kecil di desa – desa justru melestarikan keragaman pangan; yang membuat ketahanan pangan lebih kuat karena tidak tergantung pada satu – dua sumber pangan. Ketimbang membangun “lumbung pangan nasional”, yang harus dilakukan pemerintah adalah mengoreksi banyak kebijakan yang membuat pertanian kita terus – menerus mundur:
1. Meningkatkan pendapatan Petani. Pendapatan Petani yang terus merosot sehingga sektor pertanian terus ditinggalkan orang. Keuntungan rata – rata Petani hanya Rp 7,2 juta per hektar per musim tanam (atau Rp 1,8 juta per bulan per hektar). Jika cuma punya 0,2 ha, pendapatannya hanya Rp 360 ribu per bulan. Sama sekali tidak menarik.
2. Menyelenggarakan program penyuluhan yang serius. Bukan ala kadarnya. Hampir tidak ada input manajemen dan pengetahuan dalam usaha tani kecil. Termasuk penguatan organisasi kelompok dan koperasi Petani. Petani kecil bekerja sendiri – sendiri dan justru saling bersaling satu sama lain.
3. Meningkatkan serapan kredit usaha tani. Serapan kredit usaha tani sangat kecil, antara lain akibat tidak terjembataninya kesenjangan sektor formal (perbankan) dan sektor informal (Petani).
4. Menghambat konversi lahan pertanian produktif. Lahan pertanian yang terus merosot, khususnya di Jawa yang subur. (Rasio lahan pertanian per orang di Indonesia kalah dari Vietnam dan Thailand).
5. Memperkecil ketimpangan pemilikan lahan.Reforma agraria yang cuma slogan dan omong kosong. Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) menyatakan rasio Gini tanah di Indonesia sudah mendekati 0,58. Artinya, 1% penduduk menguasai 58% total luas tanah. Di sisi lain, Kementrian Pertanian menyebut ada 12,4 juta hektar lahan dalam kondisi telantar.
6. Memperkuat komitmen pemerintah terhadap sektor pertanian. Perhatian pemerintah yang sangat minimal terhadap sektor pertanian, yang antara lain (bukan satu – satunya) dicerminkan oleh kecilnya anggaran. Anggaran Kementrian Pertanian pada periode pertama Jokowi hanya 25% dari anggaran Polri; dan hanya 15% dari anggaran Kemenhan.
-. Penulis: Farid Gaban – Petani dan Member Group Bangga Jadi PETANI.
-. Editor: Bidang Propaganda & Jaringan – Dewan Pimpinan Nasional Petani.