petani.id – (#SDMPetaniUnggul – Artikel – Semarang, 19/06/2023). Bila saat ini penduduk dunia telah mencapai 7,8 miliar, menurut Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) penduduk dunia akan bertambah 2 miliar jiwa di tahun 2050. Di tahun 2050 itu dua pertiga penduduk itu diperkirakan bertempat tinggal di perkotaan. Bila keadaan ini benar-benar terjadi, dunia berpotensi mengalami bencana besar. Mulai dari krisis pangan hingga masalah ekologi seperti penurunan kualitas udara. Kota selama ini menjadi penyumbang terbesar masalah-masalah demografi, perubahan iklim dan sampah, sementara di pihak lain sektor pangan masih sangat bertumpu pasokan dari Desa. Dunia terancam kelaparan dan malnutrisi.
Di tahun 2050 itu, kita harus memproduksi pangan 70 persen lebih banyak dari hari ini. Fakta memprihatinkan menunjukkan bahwa PDB dari sektor pertanian hanya mengambil porsi 9 persen dari total PDB. Tanpa ada perubahan kebijakan di bidang pangan, 8 persen populasi dunia akan mengalami kelaparan dan malnutrisi di tahun 2030. Krisis pangan di depan mata. Harus ada perubahan, harus ada inovasi untuk mengatasi ancaman kelangkaan pangan ini.
Menyikapi potensi terjadinya bencana ini, mulai timbul kesadaran untuk memulai program-program kemandirian pangan di wilayah urban. Investor dan para inovator teknologi, banyak yang bergandeng tangan dengan pemangku kebijakan untuk mempersiapkan Pertanian Modern. Sebagaimana kita ketahui, Pertanian 4.0, tak hanya berkaitan dengan pupuk dan pestisida, tetapi juga serangkaian teknologi canggih untuk supply air di lokasi tinggi dan jauh dari sumber air, teknologi pemantau kondisi tanah, unsur hara dan kesuburan tanah, penyiraman dan pemupukan otomatis dan alat-alat penunjang pertanian modern lainnya. Tujuan penggunaan teknologi ini terutama untuk memproduksi lebih banyak hasil pertanian di tengah keterbatasan lahan, air dan tenaga kerja.
Urban farming kemudian menjadi solusi kemandirian pangan di perkotaan karena memanfaatkan cara-cara kreatif untuk mengeksplorasi peluang baru sebagai lokasi pertanian lahan kota yang terbatas. Rooftop, lahan-lahan di sekitar bangunan dan sarana publik yang tidak dimanfaatkan, menjadi lokasi urban farming. Kota-kota modern seperti Singapura, bahkan kini mulai dirintis pertanian mengapung (Floating farm).
Pada 2019, untuk pertama kalinya floating farm dioperasikan di dunia sebagai ekstensifikasi lahan pertanian. Berlokasi di tengah kota, peternakan sapi perah terapung ini menjadi solusi untuk mengurangi ongkos transportasi, dan menjaga kualitas makanan sampai ke konsumen.
Peternakan sapi perah terapung itu dioperasikan dengan teknologi tinggi dan berjalan serba otomatis. Sebuah robot bertugas dan bertanggung jawab untuk memerah susu. Segera setelah diperah, susu langsung diproses. Robot lain kemudian memberi makan sapi dengan biji-bijian yang diambil dari dari tempat pembuatan bir lokal. Rumputnya berasal dari hasil pemotongan di lapangan sepak bola dan lapangan golf di sekitar Rotterdam. Sementara kotoran sapi yang dihasilkan diolah kembali menjadi pupuk dalam bentuk pelet. Mengumpulkan kotoran dan mendistribusikan pakan ternak pun dilakukan dengan otomatis. Semua itu membuat operasional pertanian bisa dilakukan hanya oleh seorang petani, dari atas ponton yang menopang bangunan pertanian tersebut.
Pertanian terapung juga dikembangkan di Spanyol dengan konsep smart floating farm. Pertanian ini lebih kompleks daripada floating farm di Rotterdam. Desain pertanian terapung ini berlapis-lapis, menggabungkan akuakultur untuk budidaya ikan, hidroponik, dan panel fotovoltaik tenaga surya untuk memenuhi kebutuhan listrik.
Teknologi yang disematkan pada floating farm tersebut membantu hasil panen dapat terdistribusi dengan cepat ke tempat yang paling membutuhkan. Konsep ini diklaim cocok untuk beberapa kota besar seperti New York, Tokyo, Singapura, Hong Kong, Bangkok, dan kota-kota lainnya.
Di Spanyol itu, floating farm dibuat dalam bentuk bangunan berstruktur tiga tingkat setinggi 24 meter dengan panel surya di atasnya. Tingkat kedua digunakan untuk menanam berbagai sayuran dengan sistem hidroponik. Sisa nutrisi dan materi tanaman akan turun ke tingkat di bawahnya untuk memberi makan ikan yang dibudidayakan pada ruang tertutup. Satu smart floating farm berukuran 350 x 200 meter akan menghasilkan sekitar 8,1 ton sayuran dan 1,7 ton ikan per tahun.
Platform terapung diintegrasikan dengan komputer yang canggih. Energi hijau yang digunakan berasal dari panel surya hijau. Produksi limbah pertanian digunakan untuk memberi makan ikan pada tingkat di bawahnya. Sedangkan limbah dari peternakan ikan akan didaur ulang sebagai pupuk untuk pertanian hidroponik, sehingga menciptakan siklus mandiri. Karena berada di pinggir laut, pertanian ini dilengkapi dengan pelindung gelombang.
Selain pertanian terapung, ada lagi kegiatan seperti Sky Greens (Langit Hijau), berupa inovasi bertanam sayur di ruang terbuka secara vertikal. Adalagi pertanian indoor dengan teknologi yang memungkinkan untuk mengontrol semua aspek lingkungan sehingga mengoptimalkan panen. Kedua tehnik ini bisa jadi akan menjadi cara pertanian esensial di masa depan.
Urban farming juga mulai dirintis di Indonesia, terutama pasca pandemi Covid-19 pada pertengahan 2020 lalu. Trend ketertarikan masyarakat pada Urban Farming ini dapat menjadi solusi untuk mencapai ketahanan pangan. Di Indonesia teknik urban farming bahkan telah mampu dilakukan untuk bertanam padi di halaman rumah maupun secara hidroponik. Penanaman padi itu kemudian diintegrasikan dengan kolam ikan. Bertani di lahan rumah bisa jadi menjadi salah satu hikmah masa pandemi kemarin. Terjadi kesadaran masyarakat akan pentingnya kemandirian pangan. Termasuk peningkatan kerjasama antar warga melalui lembaga RT dan RW untuk mengelola urban farming.
Tentu saja keberlanjutan kemandirian pangan di masa depan ini tak hanya dapat mengandalkan inisiatif masyaraat. Perlu juga dukungan sektor publik selaku pemangku kebijakan maupun sektor swasta yang dapat bergerak selaku investor ataupun penyedia. Pemerintah, baik pusat maupun daerah, perlu mengeluarkan kebijakan yang mendukung urban farming, pengelolaan lahan kota dengan kreatif, pendirian bangunan-bangunan penunjang urban farming dan teknologi-teknologi pertanian modern.
Selain kemanfaatan lahan untuk produksi bahan pangan, urban farming pun disadari menambah estetik wajah kota. Bila selama ini penghijauan kota dilakukan dengan menanam tanaman yang tak dapat dikonsumsi, Pemerintah Daerah harus mulai memanfaatkan kegiatan penghijauan ini untuk urban farming. Akibatnya dua fungsi akan terpenuhi: fungsi estetika dan fungsi ketahanan pangan. Perlu juga dipirkan bentuk kerjasama masyarakat untuk mengelola urban farming di lahan-lahan milik pemerintah.
Urban Farming memang semakin mendesak untuk menjadi bagian penting dari masterplan kota. Negara-negara di Jazirah Arab menjadi contoh negara-negara yang mampu mengubah tipologi wilayahnya yang tandus menjadi hijau dan layak untuk pertanian modern. Kota-kota pelabuhan di Jazirah itu, kini tak lagi bermasalah dengan air bersih berkat penyulingan air laut menjadi air yang layak dikonsumsi. Setelah kebutuhan air minum terpenuhi, gurun pelan-pelan terlah disulap menjadi lahan pertanian, karena masterplan kota-kota di sana telah memasukkan konsep urban farming sejak dahulu kala.
Busan, kota metropolitan di Korea Selatan juga telah lama membuat masterplan kota dengan membangun infrastruktur penunjang urban farming. Kini kota itu mampu menjadi kota mandiri dalam penyediaan pangan, energi dan sistem daur ulang sampah yang menghasilkan zero waste. Demikian juga Singapura dan Dallas yang telah lama memasukkan urban farming dalam perencanaan kota. Memampukan kota membangun kemandirian pangan sekaligus akses yang mudah ke semua sudut kota.
Jika kesadaran urban farming sederhana seperti memanfaatkan halaman terbatas rumah untuk bertani telah mulai dilakukan oleh masyarakat kita, selanjutnya yang perlu dilakukan adalah dukungan kebijakan dari Pemerintah dan juga pembangunan prasarana dan instalasi pendukung urban farming. Semarang rasanya tepat untuk memulai kegiatan besar ini.
•> Penulis : Iswar Aminudin – ASN, Pemerhati Tata Kota , Ketua Alumni Magister Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Diponegoro yang tinggal di Kota Semarang.
•> Editor : Bidang Propaganda & Jaringan – Dewan Pimpinan Nasional PETANI.