petani.id – (Artikel – Minggu, 11/08/2019). Perjalanan usia bangsa ini yang ke 74 bertepatan dengan tanggal 17 Agustus 2019 telah menunjukkan bahwa negara ini mulai mapan dan matang dalam menjaga keutuhan bangsa dan negara dengan asas Pancasila. Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah tindakan cukup berani para pendiri negara ini. Tanpa tentara, tanpa pegawai serta tidak disiapkan orang – orang terdidik dan terpelajar begitu banyak. Serta hanya dengan satu tekat seluruh rakyat Indonesia untuk merdeka yaitu semua wilayah bekas jajahan Hindia Belanda dari Sabang sampai Merauke.
 Dengan modal Pancasila dan UUD 1945 bangsa Indonesia siap untuk membangun sebuah rumah tngga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Selang beberapa saat proklamasi pasukan sekutu yang diboncengi Netherlands Indies Civiele Administration (NICA) ingin menjajah lagi Indonesia. Maka rakyat bahu membahu untuk menghadapi penjajah dengan dibentuk laskar rakyat yang anggotanya adalah kebanyakan Petani. Karena negara Indonesia adalah negara Agraris, sebagian kecil buruh perkebunan dan kereta api. Pondok Pesantren Nahdatul Ulama (NU) yang mayoritas di pedesaan hidup sebagai Petani dan Muhammadyah di perkotaan serta semua elemen bangsa Indonesia yang sadar oleh penderitaan akibat penjajahan Belanda dan Jepang.
Negara yang baru dengan belum tertata dengan militer dan perlengkapan perang dan perbekalan makanan yang cukup. Hanya dengan semangat gotong royong seluruh rakyat Indonesia bahu membahu melawan musuh dengan gagaha berani bermodalkan perbekalan dan pengorbanan rakyat untuk menciptakan laskar rakyat tanpa manejemen militer reguler yang modern. Dan secara formal juga menjadi Barisan Keamanan Rakyat (BKR), Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Tentara Rakyat Indonesia (TRI) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI). TNI lahir dari rakyat yang mayoritas Petani. Dan setelah revolusi fisik, para Petani kembali mengolah lahanya dan sebagian yang punya ijasah formal baik sekolah Belanda, Sekolah Rakyat (SR), PETA dan KNIL bergabung dengan TNI.
Kesadaran Petani untuk membantu perjuangan TKR yang menjadi TNI adalah kesadaran Petani yang telah dijelaskan oleh Ir. Soekarno (red: biasa dipanggil Bung Karno) Presiden Pertama Republik Indonesia dengan mencontohkan sosok Pak Marhaen di desa Sukamiskin yang hidup sebagai Petani dengan memiliki sawah, cangkul dan sabit tetapi miskin karena terjajah dengan kerasnya sistem kapitalisme, feodalisme dan imperialisme yang menjadikan Petani Indonesia miskin serta kelaparan. Oleh karena itu, untuk makmur bangsa Ini harus bersatu dan untuk bersatu dibutuhkannya Pancasila.
Pancasila tidak lepas dari nilai – nilai dasar kehidupan Petani yang telah diusung oleh Bung Karno dengan belajar pada Petani, Nelayan, rakyat jelata lainnya disamping para ulama NU dan Muhammadyah. Namun meski Partai Nasional Indonesia (PNI) mengusung nama Marhaen sebagai sosok Petani tidak mengutamakan Petani sebagai basis massa dan kebanyakan adalah pegawai. Sedangkan Marhaenisme telah diperluas dalam kongres Partai Indonesia (Partindo) tahun 1933 dengan sepuluh Tesis Marhaenisme (red: Baca Dibawah Bendera Revolusi Jilid I). Organisasi Petani tidak begitu berkembang pesat dan dilewati dengan berbagai organisasi politik pada waktu itu dengan ormas yang berbasis Petani dari segala unsur partai yang ada pada waktu itu untuk mendulang suara pada pemilu 1955.
Pada tahun 1965 telah menjadi preseden buruk bagi semua organisasi yang berbasis politik baik pemuda pelajar, mahasiswa, buruh dan Petani dengan depolarisasi massa dimana organisasi pemuda dalam satu wasahabat Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), Ulama dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Petani dengan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), pelajar dengan Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) dan mahasiswa juga dipersempit dalam organisasi masyarakat (Ormas) Pemuda, buruh harus satu organisasi yaitu Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Karena organisasi tersebut terjebak dalam politik praktis yaitu Golongan Karya (Golkar) dan dua partai politik (parpol), seperti halnya ormas rakyat lainnya organisasi Petani mengalami kemunduran, begitu pula budaya gotong royong mulai terkikis dan kehidupan Petani makin miskin karena harga sarana produksi pertanian yang semakin tidak memenuhi kebutuhan serta Petani mulai meninggalkan pekerjaan melakukan urbanisasi ke kota.
Namun karena krisis 1998 dengan bangkrutnya sektor perbankan dan dunia industri di Indonesia, kegagalan industrialisasi menjadi mengingatkan kesadaran bahwa Pertanian tidak bisa ditinggalkan karena ternyata pertanian justru menjadi tulang punggung menghadapi krisis pada waktu itu.
Kesadaran Petani dan semua kalangan pemerintah serta kaumu terpelajar muncul dengan mengembalikan basis pemikiran bahwa Pertani tidak dapat ditinggalkan sebagai keunggulan absolut dan komparatif bangsa Indonesia. Bahkan otonomi daerah yang diperluas mematahkan paham bahwa tanah jawa terutama Jawa Tengah akan miskin dibandingkan luar jawa dibuktikan meski Pendapatan Regional Domestik Bruto (PRDB) perkapita yang rendah tapi tetap menjadi basis pangan bagi Pendapatan Nasional Bruto Indonesia (PNBI), bahkan lebih sejahtera dengan lahan sempit, penduduk padat, dipandang sumber daya alam dan energi yang sedikit dan minim. Namun bukti sejarah membutuhkan bahwa peningkatan otonomi daerah yang luas dengan sumber daya alam yang banyak dan lahan yang luas tidak menjawab tesis para politikus pro federasi dan otonomi luas. Bagaimana pun kesadaran untuk bersatu, bergotong royong serta persatuan dan kesatuan peningkatan daya yang baik akan meningkatkan kemakmuran. Inovasi dan mekanisasi pertanian terus ditingkatkan dengan lahan yang minimal namun hasil maksimal.
-. Penulis: Dumadi Tri Restiyanto, SE, MSi. – Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Petani Jawa Tengah.
-. Laporan: Biro Propaganda & Jaringan – DPW Petani Jawa Tengah.
-. Editor: Bidang Propaganda & Jaringan – Dewan Pimpinan Nasional Petani.