www.petani.id – (#SDMPetaniUnggul – Editorial – 14/11/2025). Kajian Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Petani – Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Persaudaraan Mitra Tani Nelayan Indonesia (PETANI) bahwa dalam empat tahun terakhir menjadi masa ujian bagi kedaulatan pangan Indonesia. Pandemi yang sempat mengguncang rantai pasok dunia membuka mata banyak pihak: ketahanan pangan bukan lagi isu ekonomi semata, tetapi juga urusan pertahanan nasional.
Dalam konteks global yang saling terhubung, ancaman terhadap kedaulatan pangan tidak lagi datang dari senjata, melainkan dari sendok dan garpu — dari apa yang kita makan, siapa yang memproduksi, dan siapa yang mengendalikan rantainya. Fenomena ini kini dikenal dengan istilah gastrokolonialisme.
Ketika Kolonialisme Berganti Rupa
Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Petani – DPN PETANI menyatakan bahwa dulu bangsa Indonesia dijajah lewat penguasaan rempah dan hasil bumi. Kini bentuknya lebih halus: makanan cepat saji, impor bahan baku, dan budaya konsumsi instan yang menyingkirkan pangan lokal dari meja makan masyarakat.
Data BPS menunjukkan, sepanjang 2022–2024, konsumsi gandum nasional meningkat rata-rata 5,6% per tahun, sementara impor gandum mencapai 11,4 juta ton pada 2024, menjadikan Indonesia sebagai importir gandum terbesar kedua di dunia. Sebaliknya, konsumsi bahan pangan lokal seperti sagu, jagung non pakan, dan umbi-umbian menurun hampir 20% dalam empat tahun terakhir.
Seperti yang sering disampaikan oleh Ketua Umum PETANI Satrio Damardjati; “Inilah bentuk kolonialisme baru: selera masyarakat dikendalikan pasar global, sementara petani lokal kehilangan tempat di negerinya sendiri”.
Perjuangan Melawan Ketergantungan
Sejak 2022, pemerintah memperkuat arah kebijakan pangan melalui berbagai langkah konkret. Produksi beras nasional naik dari 31,54 juta ton (2021) menjadi 34,36 juta ton (2024), berkat peningkatan produktivitas lahan dan pengendalian alih fungsi sawah. Produksi jagung juga meningkat dari 23 juta ton (2021) menjadi 26 juta ton (2024), sementara produksi kedelai masih fluktuatif di kisaran 0,28–0,3 juta ton karena sebagian besar kebutuhan masih diimpor.
Namun di balik capaian itu, Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Petani – DPN PETANI menyampaikan bahwa ketergantungan impor pangan strategis seperti gandum, gula, dan kedelai tetap tinggi. Total nilai impor pangan Indonesia tahun 2024 mencapai Rp 171 triliun, naik 18% dibandingkan tahun 2021.
Pemerintah merespons dengan program besar: Food Estate, lumbung pangan desa, serta proyek perluasan lahan produktif yang menargetkan tambahan 3 juta hektar areal tanam hingga 2028. Namun perjuangan terbesar justru bukan di sawah — melainkan di dapur. Karena gastrokolonialisme bekerja lewat kebiasaan makan yang kita anggap “modern”.
Presiden Prabowo dan Arah Baru Kedaulatan Pangan
Presiden Prabowo Subianto menegaskan arah baru pembangunan pangan Indonesia. Dalam berbagai kesempatan sejak awal 2025, beliau menyampaikan tekad yang kuat: “Saya sudah pelajari, dan saya yakin paling lambat empat sampai lima tahun ke depan, kita akan swasembada pangan.” — Presiden Prabowo Subianto, Januari 2025.
Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa pangan bukan hanya soal ekonomi, melainkan soal pertahanan bangsa. Pemerintah pun memadukan agenda pangan dengan dua sektor strategis lain: air dan energi, sebagai bagian dari visi Swasembada 3 Pilar (Pangan, Air, Energi) dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Nasional 2025–2029 dan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembangunan Kawasan Swasembada Pangan, Energi dan Air Nasional yang kemudian didukung dengan terbitnya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 19 Tahun 2025 tentang Tim Koordinasi Percepatan Pembangunan Kawasan Swasembada Pangan, Energi dan Air Nasional.
Di bawah koordinasi lintas kementerian dan BUMN, dibentuk sistem terpadu yang menghubungkan pembangunan waduk dan irigasi baru, energi surya pertanian, dan produksi pupuk lokal. Fokus utamanya adalah membangun kapasitas dari bawah, yakni melalui desa dan BUMDes sebagai pusat produksi pangan rakyat.
Gastrokolonialisme Di Tengah Modernisasi
Meski langkah-langkah struktural berjalan, arus globalisasi tetap deras. Iklan makanan cepat saji, produk olahan impor, dan gaya hidup “praktis” membentuk selera baru di masyarakat.
Ketika anak-anak di kota lebih mengenal burger daripada ketela rebus, ketika sagu dan jagung lokal dianggap “pangan kelas dua”, maka di situlah gastrokolonialisme bekerja. Ia tidak perlu menaklukkan wilayah — cukup menaklukkan imajinasi.
Fenomena ini menciptakan paradoks: Indonesia punya 17.000 pulau dengan keanekaragaman pangan luar biasa, tapi pasar dalam negeri justru dikuasai oleh produk global. Dalam jangka panjang, ini bisa mengikis ketahanan pangan psikologis dan budaya, yang sejatinya merupakan fondasi dari pertahanan nasional.
Meneguhkan Pertahanan Pangan Dari Akar Budaya
Melawan gastrokolonialisme tidak bisa hanya dengan meningkatkan produksi; perlu membangun kesadaran dan kebanggaan terhadap pangan lokal.
Pemerintah mulai menggerakkan gerakan “Bangga Makan Pangan Nusantara“, menggandeng komunitas kuliner dan UMKM daerah untuk mengangkat bahan lokal seperti sagu Papua, singkong Lampung, talas Bogor, dan sorgum NTT.
Selain itu, program Diversifikasi Konsumsi Pangan kini dijalankan di 200 kabupaten, dengan insentif bagi industri olahan lokal. Pemerintah juga memperkuat industri tepung lokal non-gandum untuk mengurangi ketergantungan impor bahan baku industri makanan.
Dari sisi pertahanan, Badan Pangan Nasional menegaskan bahwa setiap provinsi akan memiliki Cadangan Pangan Pemerintah Daerah (CPPD) yang wajib mencakup minimal 5 komoditas pokok. Ini bagian dari strategi pertahanan non-militer: menjaga rakyat tetap makan, apapun situasi globalnya.
Perjuangan PETANI melawan hegemoni gastrokolonialisme sebagaimana tertuang dalam 8 misi PETANI seperti diantaranya Gerakan Nasional Konsumsi Pangan Sehat, Kampanye Nasional Gerakan Susu untuk Anak Indonesia Sehat dan Cerdas juga Kampanye Ikan Sebagai Sumber Protein dan Gizi Rakyat serta Gerakan Industrialisasi Pangan Nasional Berbasis Kerakyatan yang selalu disampaikan oleh Ketua Umum PETANI Satrio Damardjati adalah sebuah misi untuk memperbesar peran para petani dalam perekonomian negara dan juga industrialisasi oleh petani dalam usaha bersama ditujukan untuk menjamin ketersediaan input produksi serta menjamin konsistensi dalam sistem produksi secara berkelanjutan pada pangan lokal.
Berdaulat Di Meja Makan Sendiri
Gastrokolonialisme memang tidak terlihat, tapi dampaknya terasa sampai ke akar budaya bangsa. Setiap bungkus mie instan yang menggantikan sepiring nasi jagung, setiap promosi makanan impor yang menyingkirkan pangan lokal, adalah bentuk kecil dari penjajahan modern.
Namun bangsa Indonesia punya sejarah panjang melawan ketergantungan. Jika dulu kita merebut kemerdekaan politik dengan bambu runcing, kini saatnya merebut kemerdekaan pangan dengan ilmu, inovasi, dan kesadaran.
Seperti kata Presiden Prabowo Subianto: “Pangan adalah senjata. Kalau kita tidak punya pangan sendiri, kita akan lemah.”
Kedaulatan pangan sejati dimulai dari apa yang kita tanam, olah, dan makan di rumah kita sendiri. Saatnya Indonesia berdaulat, bahkan di meja makan.
- > Editor : Bidang Propaganda & Jaringan – Dewan Pimpinan Nasional Petani.










