www.petani.id – (#SDMPetaniUnggul – Editorial – Jakarta, 24/07/2025). Persaudaraan Mitra Tani Nelayan Indonesia (Petani) mengkaji bahwa pada dekade 1990an, perekonomian dunia tertekan oleh upaya menciptakan kesepakatan global terkait perdagangan dan tarif perdagangan antarnegara atau dikenal sebagai General Agreement of Tariffs and Trade (GATT) yang kemudian bermetamorfosis menjadi World Trade Organization (WTO). Indonesia menjadi salah satu anggotanya, dan seringkali beberapa hasil pertemuan WTO mendatangkan kerugian bagi perekonomian Indonesia dan melemahkan daya saing di tingkat global. Belakangan, faktor tarif digunakan sebagai alat oleh Amerika Serikat (AS)Â untuk mengamankan kepentingan rezim ekonomi dalam negerinya dan berdampak pada melambatnya perdagangan global.
Sementara di sisi lain, fenomena intelektual yang menjadi arus utama adalah desa global (global village) yang melukiskan situasi ibarat sebuah desa dengan segala kemudahan mendapatkan sesuatu tanpa hambatan batas negara. Terbentuklah istilah globalisasi, yang telah terealisasi dengan banyaknya pemilik modal yang mudah mengakses sumber daya alam di negara-negara berkembang, termasuk menyasar kekayaan alam Indonesia untuk kepentingan mesin produksi yang sudah dimiliki oleh negara-negara industri.
Pesatnya investasi dan tekanan nonekonomi dari berbagai sisi menyebabkan eksploitasi sumber daya alam menjadi buldozer yang mengganggu keseimbangan alam, dan mengandung risiko kerusakan yang sulit dikembalikan.
PERADABAN DESA
Hubungan harmonis penduduk di Nusantara dengan alam telah terpelihara selama berabad-abad dan hingga kini masih sangat banyak yang meyakininya dan dirawat dalam hukum adat yang diakui oleh Negara. Hukum adat di suatu wilayah menjadi salah satu panduan kehidupan masyarakat dan dilaksanakan oleh pemerintahan desa setempat.
Desa dapat dikatakan sebagai akar dari Nusantara yang mempunyai bermacam nama menurut kebudayaan setempat, di antaranya nagari, dusun, kampung, dan lainnya. Sejak masa prakolonial, penduduk desa sangat taat pada adat istiadat dan menjunjung tinggi leluhur beserta ajaran tentang menjaga keselarasan dengan alam, termasuk tumbuhan, binatang, mata air, sungai, gunung, lembah, pantai laut, bahkan bintang-bintang di langit.
MEWASPADAI SOAL PANGANÂ
Keselarasan dengan alam mendorong terbentuknya budaya bercocok tanam hingga hari ini, dan kemudian menjadi istilah pertanian. Tujuan utamanya adalah menghasilkan bahan pangan untuk dimakan sehari-hari. Bahkan sebelum sains menemukan berbagai rumus atau panduan, penduduk Nusantara telah beradaptasi hingga jadi kebiasaan dan menghasilkan bermacam bahan pangan spesifik diantaranya padi sangat cocok ditanam di Jawa, Madura, Bali, Lombok, sebagian Sumatera dan Sulawesi, jagung dapat ditanam di Jawa, Madura, Sulawesi, sagu tumbuh baik di Papua, dan sebagian kepulauan Maluku, serta bermacam rempah dan buah-buahan tumbuh subur di seluruh kepulauan Nusantara.
Hingga saat ini bahan pangan masih menjadi permasalahan global. Kondisi alam yang tidak mendukung, perubahan iklim yang ekstrim, konflik bersenjata yang berkepanjangan, dan perekonomian yang labil dapat menyebabkan krisis pangan. Bahkan krisis pangan, atau tepatnya kekurangan gizi dan nutrisi, dapat menurunkan kualitas sumber daya manusia yang berdampak langsung pada produktivitas dan kualitas kehidupannya secara umum.
Belum lama terjadi bahwa Jepang, yang termasuk negara industri, mengalami kekurangan beras. Dan situasi ini menjadi pukulan mengejutkan bagi pemerintahannya. Salah satu penyebabnya adalah perubahan iklim yang ekstrim dan berdampak pada produksi beras yang terus menurun. Pasokan yang menurun mengakibatkan harga melambung tinggi dan mengganggu kinerja perekonomian. Negara industri seperti Jepang dan Korea Selatan sangat terganggu oleh kekurangan pangan karena sumber daya alam dua negara tersebut sangat terbatas.
Sebaliknya, Indonesia yang memiliki sumber daya alam berlimpah seharusnya dapat menciptakan momentum untuk memperbaiki tata kelola produksi bahan pangan secara umum dan tata niaga pangan secara khususnya agar menghasilkan bermacam pangan berkualitas untuk jangka waktu yang tidak terbatas. Ketika terjadi krisis pangan, pemerintahan jadi melemah dan terdapat risiko kolaps jika gagal menemukan jalan keluarnya.
Oleh karenanya, semua yang berkepentingan dalam bernegara harus menomorsatukan pangan di atas kepentingan yang lain. Dan siapapun jangan lagi berbuat tidak senonoh dengan mengambil untung berlebihan dari permasalahan pangan atau mereka dapat disebut penjahat kemanusiaan.
MASA DEPAN EKONOMI NEGARAÂ
Ketika Indonesia memasuki praindustri, pesawat penumpang produksi Nurtanio berhasil diterbangkan pada bulan Agustus 1995 di hadapan Presiden Soeharto. Sejak itu pula, perhatian terhadap pangan mulai menurun. Akibatnya riset pangan terpinggirkan, produksi bahan pangan tidak stabil, dan idealisme pangan bertumbukan dengan industrialisme prematur. Situasi tidak terkendali itu kemudian bergesekan dengan kepentingan-kepentingan bersifat sesaat, yang kemudian mendesak pemerintahan hingga kejatuhannya.
Serupa tapi tidak sama, Indonesia saat ini sedang berhadapan dengan situasi di mana desakan eksploitasi melalui investasi pertambangan dan industri mineral sedang melonjak pesat. Tidak ada jaminan bahwa berkembangnya industri hasil tambang sepadan dengan dampaknya terhadap kerusakan lingkungan. Oleh karenanya kewaspadaan perlu digandakan terhadap segala kegiatan pertambangan, karena nilai hasil industrinya tidak akan mampu mempertahankan daya dukung lingkungan yang terganggu.
Semua pihak harus mengembalikan kesadaran bahwa tidak terpenuhinya kebutuhan bahan pangan untuk seluruh penduduk negeri dapat membahayakan kehidupan bernegara. Untuk itu, diperlukan penegasan pangan sebagai bagian pertahanan negara yaitu melalui tindakan konsisten berupa; 1) peningkatan produksi bahan pangan di semua daerah yang subur, 2) penghentian segala bentuk alih fungsi lahan produktif, 3) pengendalian tata kelola sumber air baku dan atau mata air alami untuk lahan produktif, dan 4) pembukaan lahan baru dengan tetap mempertahankan keseimbangan ekologis.
Beragam kondisi desa di Nusantara harus mampu menyokong kebutuhan pangan sesuai dengan kearifan lokal masing-masing. Kehadiran Koperasi Desa Merah Putih dapat menjadi satu unsur yang memudahkan akses terhadap pangan, baik dalam hal produksi maupun distribusi hasilnya. Dan untuk menguatkan perekonomian di pedesaan perlu dibangun kesadaran agar entitas koperasi sebagai usaha bersama selalu mengutamakan produk dari penduduk setempat hingga siklus perputaran uang yang sehat secara berkelanjutan dapat terbentuk.
Kesempatan berusaha masyarakat di perdesaan masih harus difasilitasi, dipermudah dan dibina, dengan tujuan meningkatkan produktivitas dan terciptanya peluang kesejahteraan. Usaha-usaha masyarakat itu pun harus diarahkan pada pemenuhan kebutuhan dasar, terutama pangan berkualitas, air bersih memadai dan kebutuhan energi untuk rumah tangga di perdesaan itu. Bahkan entitas koperasi desa dapat mengembangkan peran lebih luas yang disertai kemauan peningkatan keahlian dan wawasan secara terus-menerus. Koperasi desa harus menemukan cara baru untuk menciptakan perdagangan yang adil.
Seperti yang sering disampaikan Ketua Umum Petani Satrio Damardjati, dengan kinerja yang terus meningkat, sangat mungkin bahwa koperasi desa ke depan dapat menjadi jalan baru yang memperkuat pertahanan negara melalui penguatan peran dalam urusan pangan, air, dan energi, pemuliaan produk-produk lokal berkualitas dan mengelola perdagangan yang adil sehingga dihasilkan surplus perekonomian desa dapat berkembang secara berkelanjutan.
•> Editorial: Bidang Propaganda dan Jaringan – Dewan Pimpinan Nasional Petani.