Berita PetaniCatatan Geopolitik Internasional Petani: Indonesia Menuju Lumbung Pangan Dunia yang Damai

Catatan Geopolitik Internasional Petani: Indonesia Menuju Lumbung Pangan Dunia yang Damai

www.petani.id – (#SDMPetaniUnggul – Editorial – 16/10/2025). Kajian Bidang Hukum dan Advokasi Kebijakan – Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Persaudaraan Mitra Tani Nelayan Indonesia (PETANI) bahwa tantangan dan peluang dalam kurun waktu lima tahun terakhir (2020–2025), Indonesia menghadapi kombinasi tantangan klasik dan peluang baru dalam mewujudkan ketahanan dan atau kedaulatan pangan. Pandemi COVID-19, perubahan iklim, fluktuasi harga input, dan dinamika kebijakan global mempertebal urgensi perbaikan tata kelola pemerintahan di sektor pangan. Namun di sisi lain, kemajuan teknologi, konsolidasi kelembagaan pangan, dan semangat reformasi birokrasi membuka ruang optimisme bahwa Indonesia bisa bergerak dari negara pemakan (importir) menuju “lumbung pangan dunia yang damai dan berkeadilan.”

Agar visi tersebut bukan retorika semata, diperlukan perubahan struktural di tataran kebijakan – terutama perbaikan tata kelola pemerintahan bidang pangan yang efektif, transparan, dan akuntabel. Kajian Bidang Hukum dan Advokasi Kebijakan – DPN PETANI ini — dilandasi rujukan data terkini dan perspektif praktisi — mengulas kondisi aktual, tantangan utama, dan jalan strategis menuju Indonesia berdaulat pangan.

DATA KINERJA Produksi dan Distribusi Pangan: Gambaran 2020–2025

Untuk memahami legitimasi reformasi tata kelola, penting memulai dari gambaran kondisi produksi pangan, khususnya padi sebagai komoditas nasional utama.

Produksi Padi / Beras dan Tren Nasional

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2024 luas panen padi mencapai sekitar 10,05 juta hektare dengan produksi padi sebesar 53,14 juta ton gabah kering giling (GKG). Angka sementara BPS juga memperkirakan produksi padi nasional 2024 sebesar 52,66 juta ton GKG, dengan produksi beras untuk konsumsi penduduk sekitar 30,34 juta ton (konversi dari GKG). Hal ini menandakan sedikit penurunan dibanding tahun-tahun sebelumnya. Untuk periode Januari–Agustus 2025, produksi beras nasional tercatat sebesar 24,97 juta ton, meningkat ±14,09% dibanding periode yang sama pada 2024 (21,88 juta ton).

Pada kuartal awal 2025, produksi padi meningkat signifikan dibanding 2024: produksi pada bulan April 2025 tercatat 9,09 juta ton GKG, sedangkan rata-rata Januari–April 2025 mencapai 24,33 juta ton — tertinggi selama 7 tahun terakhir untuk periode tersebut . Data ini menunjukkan bahwa meskipun terdapat fluktuasi musiman dan tekanan eksternal (iklim, pasar, logistik), potensi produksi padi Indonesia tetap besar bila dikelola secara optimal.

Kinerja Kebijakan Institusional dan Pengawasan

Kementerian Pertanian (Kementan) berhasil memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada tahun 2023, sebagai pengakuan terhadap pengelolaan keuangan yang bersih dan tertib administratif.

BPK menyatakan bahwa untuk pemeriksaan di sektor pangan, fokus utama bukan mencari kesalahan semata melainkan memastikan tata kelola pangan berjalan baik demi kesejahteraan rakyat. BPK juga melakukan Pemeriksaan Tematik Nasional Ketahanan Pangan secara berseri, sebagai bagian dari upaya mengawal program pangan strategis nasional.

Badan Pangan Nasional (Bapanas) dalam Laporan Tahunan 2023 menyebut bahwa sejak pengelolaan anggaran menjadi mandiri (terpisah dari Kementan), mereka fokus membenahi kelembagaan, memperkuat data-informasi pangan, serta memperbaiki stabilisasi harga melalui operasi pasar dan cadangan pangan pemerintah (CPP).

Dalam laporan kinerja, Badan Pangan Nasional juga menyatakan bahwa tata kelola perencanaan, anggaran, monitoring dan evaluasi telah menunjukkan capaian “sangat baik” (nilai 5,00 dari target 5,00) sebagai indikator akuntabilitas internal. Dari sisi institusional, peningkatan akuntabilitas dan penguatan lembaga pangan nasional mulai terlihat, meskipun masih perlu langkah lanjutan dalam keberlanjutan implementasi.

TANTANGAN Tata Kelola Pangan yang Masih Mengganjal

Berdasarkan temuan Bidang Hukum dan Advokasi Kebijakan – DPN PETANI dan praktisi serta laporan lembaga pengawas, ada sejumlah hambatan struktural yang harus segera dijawab agar visi lumbung pangan bisa terwujud:

  1. Kelembagaan yang Tumpang Tindih dan Koordinasi Lemah: Meski dibentuk Kementerian Koordinator Bidang Pangan pada akhir 2024 untuk menyinkronkan kebijakan pangan, agribisnis, dan perdagangan pangan, koordinasi antar-sektor (irigasi, agraria, perdagangan, perbankan) belum optimal. Banyak kebijakan pangan yang tetap berada di kementerian terpisah (Pertanian, Perdagangan, ATR/BPN, PUPR) sehingga potensi konflik regulasi dan duplikasi sulit dihindari.
  2. Ketergantungan pada Proyeksi dan Problem Data: Meskipun BPS telah menggunakan metodologi Survei KSA (Kerangka Sampel Area) sejak 2018 untuk statistik pertanian terintegrasi, data masih sering mengalami revisi atau penyesuaian. Ketidakpastian data menyebabkan perencanaan impor/ekspor dan kebijakan intervensi kadang terlambat atau keliru.
  3. Biaya Logistik dan Kerugian Pascapanen (Food Losses): Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Petani – DPN PETANI menyebut bahwa kehilangan pascapanen (losses) di rantai distribusi pangan di Indonesia bisa mencapai 9–11% dari total produksi, terutama di daerah terpencil ataupun pulau-pulau kecil (kondisi geografis yang fragmented). (Catatan: angka ini merupakan estimasi umum dari studi-studi kebijakan pangan; lembaga resmi nasional belum merilis angka konsisten untuk seluruh periode 2020–2025). Infrastruktur jalan, penyimpanan dingin, dan jaringan distribusi yang kurang memadai memperpanjang rantai pasok dan menambah biaya sehingga margin petani tergerus.
  4. Pendanaan dan Insentif yang Belum Merata: Akses petani kecil ke pembiayaan (kredit pertanian, asuransi tanaman, subsidi input) masih belum merata, khususnya di luar Pulau Jawa. Reformasi mekanisme subsidi (pupuk, benih) dan pengembangan skema kredit mikro sangat krusial agar petani tidak terlilit utang.
  5. Resiliensi terhadap Iklim dan Krisis Global: Fenomena El Nino/La Nina, kekeringan dan atau banjir ekstrem menjadi ancaman nyata terhadap produktivitas pangan. Misalnya di 2024, BPS melaporkan bahwa penurunan luas panen padi sebagian disebabkan oleh pergeseran musim tanam akibat fenomena iklim tersebut.  Kebijakan mitigasi iklim — termasuk sistem irigasi tanggap iklim, diversifikasi komoditas, dan pembangunan cadangan air — sejauh ini belum bersifat lintas sektor dan adaptif.

ARAH REFORMASI Tata Kelola Pangan

Langkah-langkah strategis berikut ini sangat direkomendasikan pada tata kelola pangan untuk mempercepat transisi Indonesia menjadi lumbung pangan dunia:

  1. Integrasi Institusional dan Koordinasi Kebijakan: Implementasinya dengan membentuk Dewan Pangan Nasional (National Food Governance Board) dengan kewenangan lintas kementerian (Pertanian, ATR, PUPR, Perdagangan, Keuangan, Energi), di mana Board ini harus dilengkapi dengan mandat regulasi dan anggaran; tidak hanya forum konsultatif.
  2. Penguatan Data & Sistem Informasi Pangan: Implementasinya berupa pengembangan Pusat Data Pangan Nasional (National Food Data Center) yang mengintegrasikan data BPS, Kementan, Badan Pangan Nasional, Bulog, dan daerah serta memastikan pembaruan berkelanjutan dan update real-time dengan menerapkan dashboard publik untuk transparansi aktivitas semua pihak hingga beragam investasi di sektor pangan.
  3. Reformasi Subsidi dan Pembiayaan Pertanian: Implementasinya berupa pengalihan sebagian subsidi input menjadi program stimulus berupa skema insentif berbasis kinerja, dukungan asuransi pertanian dan kredit mikro. Perbankan dan lembaga keuangan diwajibkan memperkuat fokus pada petani kecil, petani muda dan daerah tertinggal agar lebih meningkatkan peran mereka dalam produktivitas berkelanjutan.
  4. Modernisasi Infrastruktur dan Logistik Pangan: Implementasinya berupa program penyimpanan dingin (Cold Storage) terdesentralisasi, transportasi multimoda (laut, darat, sungai) serta desentralisasi rantai distribusi yang dilakukan melalui kolaborasi pemerintah pusat-daerah dan BUMN logistik yang diperlukan.
  5. Adaptasi Iklim dan Cadangan Pangan Strategis: Implementasikan irigasi adaptif, diversifikasi produk pangan selain padi, pembangunan waduk mikro di kabupaten rawan kekeringan disertai upaya integrasi dengan kebijakan mitigasi perubahan iklim nasional.
  6. Pemantauan, Evaluasi, dan Akuntabilitas: Harus dilakukan audit internal dan eksternal rutin (BPK tematik pangan), sistem evaluasi berbasis kinerja (performance budgeting) dan gunakan hasil audit sebagai basis perbaikan kebijakan selanjutnya.

Implementasi langkah-langkah ini sangat memerlukan komitmen politik tinggi, stabilitas kelembagaan, dan konsistensi lintas pemerintahan pusat–daerah.

PROYEKSI DAN HARAPAN: Indonesia 2026–2029

Beberapa lembaga internasional seperti Food Agriculture Organization (FAO), International Food Policy Research Institute (IFPRI), dan Asian Development Bank (ADB) memproyeksikan bahwa Indonesia memiliki peluang menjadi negara penyangga pangan kawasan Asia Tenggara jika reformasi tata kelola pangan berhasil dijalankan. Dalam skenario optimistis, Indonesia dapat menghasilkan perubahan signifikan, yaitu:

  1. Produktivitas padi bisa meningkat hingga 10–15% dari baseline 2025 melalui teknologi, varietas unggul, dan manajemen yang lebih efisien.
  2. Impor pangan pokok (terutama kedelai, jagung, gula) dapat ditekan signifikan bila peta rantai nilai domestik diperkuat
  3. Indonesia bisa mengekspor surplus beras, jagung, sorgum, dan produk olahan pangan ke negara-negara yang lebih rentan pangan (khususnya di Afrika dan Asia Selatan).
  4. Kedaulatan pangan yang kuat akan memperkokoh posisi diplomasi pangan Indonesia di forum global — menjadikan pangan sebagai instrumen perdamaian dan kerjasama antarbangsa.

Dan semua itu bergantung pada kualitas tata kelola: dari hulu ke hilir, dari pusat ke daerah, dari kebijakan hingga implementasi lapangan.

CATATAN PENUTUP (Call to Action)

Menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia yang damai bukan sekadar cita-cita ambisius, melainkan tanggung jawab institusional, politik, dan teknis. Reformasi tata kelola pangan yang nyata melalui penguatan lembaga, transparansi data, integrasi kebijakan, dan akuntabilitas adalah jembatan yang harus dilalui.

Pemerintah pusat dan daerah wajib bersinergi, dunia usaha harus dilibatkan secara adil, dan petani menjadi inti kebijakan bukan objek. Media dan masyarakat sipil berperan sebagai pengawal agar proses reformasi tidak berhenti di kertas, melainkan terimplementasi hingga ke sawah dan lumbung pangan desa-desa.

“Selamat HARI PANGAN SEDUNIA : Memperkuat Tata Kelola Pangan Nasional melalui Reformasi Birokrasi dan Sinergi Kebijakan” 

  • > Editorial: Bidang Propaganda dan Jaringan – Dewan Pimpinan Nasional PETANI.
spot_img

KELUARGA BESAR PETANI MENGUCAPKAN DIRGAHAYU PRESIDEN PRABOWO SUBIANTO ke 74 Tahun

"Mewujudkan Pertahanan Pangan, Energi dan Air berdasarkan Pancasila dan...

Peraturan Presiden RI Nomor 12 Tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2025 – 2029

https://petani.id/wp-content/uploads/2025/10/Perpres-Nomor-12-Tahun-2025.pdf

Aktivasi Sumberdaya Hutan Dalam Penguatan Fundamental Pertahanan Pangan Negara

www.petani.id - (#SDMPetaniUnggul - Editorial - 11/10/2025). Kajian Dewan...

Catatan Geoekonomi Nasional Petani: Industrialisasi Pangan Berkelanjutan, Strategi Pertahanan Pangan Menuju Kesejahteraan Petani

www.petani.id - (#SDMPetaniUnggul - Editorial - Jakarta, 04/10/2025). Hasil...

CATATAN GEOSTRATEGIS NASIONAL PETANI: INPRES 14/2025 AKHIRI HEGEMONI PANGAN, ENERGI DAN AIR JALAN MENUJU KEADILAN SOSIAL

www.petani.id – (#SDMPetaniUnggul – Editorial – Jakarta, 20/09/2025). Kajian...

Pernyataan Presiden RI Prabowo Subianto

petani.id - Jumat, 29 Agustus 2025, Bismillahirrahmanirrahim. Assalamualaikum warahmatullahi...

CATATAN GEOPOLITIK NASIONAL PETANI : INSTRUKSI PRESIDEN NOMOR 14/2025 HARAPAN MEMBANGUN TATANAN PANGAN BARU

www.petani.id - (#SDMPetaniUnggul - Editorial - Jakarta, 24/08/2025). Kajian...
spot_img
WhatsApp chat