www.petani.id – (#SDMPetaniUnggul – Editorial – Jakarta, 04/10/2025). Hasil kajian dan riset badan otonom Laboratorium Kedaulatan Pangan dan Agribisnis Kerakyatan (Lab. KPAK) Persaudaraan Mitra Tani Nelayan Indonesia (PETANI) yang tersebar di beberapa wilayah Indonesia bahwa dalam satu dekade terakhir, dunia pertanian Indonesia menghadapi tekanan yang semakin kompleks. Pola hujan semakin sulit diprediksi, di mana ada suatu wilayah yang mengalami kekeringan berkepanjangan, sementara daerah lain justru sering dilanda banjir saat musim tanam. Variasi iklim ekstrem ini berpengaruh langsung pada jadwal tanam, produktivitas lahan, dan stabilitas produksi pangan.
Tidak hanya itu, perubahan suhu rata-rata tahunan yang cenderung meningkat membuat beberapa komoditas utama seperti padi, jagung, dan kedelai lebih rentan terhadap serangan hama dan penyakit tanaman. Dampaknya, kerugian petani kerap terjadi bukan hanya karena gagal panen, tetapi juga karena meningkatnya biaya produksi untuk pengendalian hama.
Selain faktor iklim, tekanan terhadap lahan juga meningkat. Laju alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian cukup tinggi, terutama di Pulau Jawa yang padat penduduk. Sepuluh tahun terakhir juga menunjukkan gejala degradasi tanah akibat penggunaan pupuk kimia berlebihan dan praktik pertanian yang tidak ramah lingkungan. Jika tren ini dibiarkan, keberlanjutan produksi pangan jangka panjang akan terancam. Namun, perubahan tersebut juga melahirkan peluang baru. Munculnya teknologi pertanian berketahanan iklim (climate smart agriculture), mekanisasi pertanian, digitalisasi rantai pasok, dan tren konsumsi pangan sehat di pasar global membuka ruang industrialisasi pangan yang bukan hanya efisien tetapi juga berkelanjutan.
Mengapa Industrialisasi Pangan Menjadi Jawaban?
Seperti yang disampaikan Ketua Umum PETANI Satrio Damardjati bahwa selama ini, petani kecil di Indonesia masih menghadapi persoalan klasik: harga hasil panen sering anjlok karena ketergantungan pada tengkulak, keterbatasan akses penyimpanan dan pengolahan, serta minimnya nilai tambah yang mereka nikmati. Gerakan Industrialisasi Pangan Nasional Berbasis Kerakyatan yang menjadi salah satu misi PETANI dan selalu dikampanyekan oleh Ketua Umum PETANI beserta jajaran pengurus Dewan Pimpinan Nasional PETANI bahwa industrialisasi pangan menawarkan jalan keluar dengan membawa 3 (red: tiga) keuntungan sekaligus, yaitu; 1.) Mengurangi kerentanan petani terhadap gejolak iklim dan pasar dengan melalui aktivitas pascapanen berupa pengolahan, penyimpanan modern, dan diversifikasi produk, hasil pertanian tidak lagi cepat rusak dan memiliki nilai jual lebih tinggi., 2.) Meningkatkan kesejahteraan petani secara langsung karena petani bukan hanya menjual bahan mentah, tetapi juga dapat terlibat dalam rantai pasok hilir, mulai dari pengolahan hingga pemasaran produk., 3) Mendorong pertahanan pangan nasional.
Dengan industrialisasi pangan yang berkelanjutan memastikan ketersediaan pangan yang cukup, stabil, dan aman di tengah guncangan iklim maupun krisis global.
Strategi Ekonomi Pangan 4 Tahun ke Depan
1. Pertanian Berketahanan Iklim: Langkah pertama adalah memperkuat basis produksi dengan mengadopsi praktik pertanian cerdas iklim. Petani perlu diarahkan menggunakan varietas tahan cuaca ekstrem, mengelola air dengan teknologi hemat (drip irrigation / tadah hujan terkontrol), serta memanfaatkan kalender tanam berbasis satelit. Target dalam 4 tahun ke depan adalah minimal 40% petani di wilayah rawan iklim sudah mengadopsi teknologi ini.
2. Industrialisasi dan Pengolahan Skala Lokal: Industrialisasi harus dimulai dari tingkat kabupaten. Misalnya, di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, jagung melimpah tetapi harga sering jatuh. Dengan membangun unit pengolahan pakan ternak skala menengah yang dikelola koperasi dan atau unit usaha kelompok petani, petani tidak hanya menjual jagung mentah tetapi juga mendapat nilai tambah dari produk olahan. Dalam 4 tahun, setiap kabupaten sentra pangan ditargetkan memiliki minimal 2 unit pengolahan komunal.
3. Mekanisasi Tepat Guna dan Digitalisasi: Mekanisasi bukan berarti mengganti tenaga kerja manusia secara masif, melainkan menyediakan peralatan modern yang bisa disewa kelompok petani. Karena dengan Combine Harvester, Rice Transplater hingga Cold Storage bisa mengurangi kerugian panen 15–20%. Selain itu, platform digital harus menghubungkan petani langsung dengan pasar. Aplikasi sederhana berbasis WhatsApp untuk kontrak jual-beli sudah terbukti meningkatkan transparansi harga dan mengurangi ketergantungan pada tengkulak.
4. Skema Pembiayaan dan Asuransi Produktif: Bank dan lembaga keuangan harus berani masuk dengan produk pembiayaan inklusif. Kredit berbasis kelompok petani dengan jaminan kontrak penjualan bisa menekan risiko kredit macet. Selain itu, asuransi indeks cuaca perlu diperluas agar petani mendapat kompensasi cepat bila gagal panen akibat kekeringan atau banjir.
5. Pengelolaan Landscape dan Agroforestri: Pangan berkelanjutan tidak bisa dilepaskan dari lingkungan. Integrasi sistem agroforestri di lahan hutan rakyat bisa menghasilkan pangan sekaligus menjaga keseimbangan ekosistem. Sebagai contoh: integrasi kopi dengan tanaman keras di Jawa Tengah mampu menekan erosi sekaligus memberi pendapatan tambahan bagi petani. Program pembayaran jasa lingkungan (PES) juga bisa diterapkan untuk memberi insentif pada petani yang menjaga kelestarian lahan.
6. Kelembagaan dan Data yang Kuat: Koperasi dan atau unit usaha kelompok petani perlu direformasi menjadi badan usaha modern yang profesional. Dengan kelembagaan kuat, petani bisa memiliki posisi tawar lebih tinggi. Selain itu, data pertanian yang akurat, mulai dari luas tanam, produktivitas, hingga distribusi pasokan akan menjadi dasar kebijakan yang tepat sasaran.
Sebagai contoh kasus: Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah yang dikenal sebagai salah satu sentra padi sekaligus hortikultura. Namun, dalam 10 tahun terakhir, beberapa desa di wilayah ini sering mengalami banjir bandang saat musim hujan dan kekeringan di musim kemarau.
Jika strategi industrialisasi pangan diterapkan di Banyumas, langkah yang bisa dilakukan adalah: 1.) Mengembangkan sistem irigasi berbasis embung dan tadah hujan., 2.) Mendirikan unit pengolahan sayuran menjadi produk beku (frozen vegetables) dengan merek lokal., 3.) Memanfaatkan koperasi dan atau unit usaha kelompok petani untuk mengelola mesin panen modern dan cold storage., 4.) Menghubungkan petani dengan pasar modern (supermarket, hotel, restoran) lewat kontrak berjangka. Dalam 4 tahun, target yang realistis adalah meningkatnya pendapatan petani Kabupaten Banyumas minimal 70%, dengan tingkat kehilangan hasil panen turun hingga 50%.
Risiko dan Cara Mengatasi
1.) Risiko Pasar: Harga ekspor bisa turun drastis. Solusi: diversifikasi produk ke pasar lokal dan penguatan brand pangan lokal., 2.) Risiko Lingkungan: Industrialisasi berlebihan bisa memicu pencemaran. Solusi: penerapan standar lingkungan dalam setiap unit pengolahan., 3.) Risiko Sosial: Mekanisasi bisa menimbulkan pengangguran musiman. Solusi: alihkan tenaga kerja ke sektor pengolahan, distribusi, dan logistik pangan.
Industrialisasi Pangan Harus Memihak Petani
Empat tahun ke depan adalah momentum penting untuk menjadikan industrialisasi pangan bukan sekadar pembangunan pabrik, melainkan transformasi menyeluruh yang menghubungkan petani kecil dengan rantai nilai modern. Dengan enam pilar strategi: pertanian berketahanan iklim, hilirisasi lokal, mekanisasi tepat guna, pembiayaan inklusif, pengelolaan lanskap berkelanjutan, dan kelembagaan kuat— Indonesia bisa memastikan bahwa petani bukan hanya penerima perubahan, tetapi aktor utama dalam industrialisasi pangan berkelanjutan. Jika strategi ini dijalankan konsisten, maka pada 2029 kita tidak hanya berbicara soal swasembada pangan nasional, tetapi juga tentang petani yang sejahtera, lingkungan yang terjaga, dan industri pangan Indonesia yang berdaya saing global.
Gambaran Makro (jika diterapkan nasional): 1.) Bila 30% petani kecil (sekitar 6 juta keluarga) terintegrasi dalam rantai industrialisasi pangan, pendapatan rata-rata bisa naik 50–80% dalam 4 tahun., 2.) Potensi kehilangan hasil pascapanen nasional (sekitar 15–20% produksi) bisa ditekan menjadi hanya 7–10%., 3.) Nilai tambah pangan olahan dalam Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sektor manufaktur bisa meningkat lebih dari Rp200 triliun per tahun, sekaligus membuka ratusan ribu lapangan kerja baru di pedesaan.
•> Editor : Bidang Propaganda & Jaringan – Dewan Pimpinan Nasional Petani.